Sabtu, 19 Februari 2011

DRG (Diagnostic Related Group)

          Beberapa waktu yang lalu, salah seorang pakar dari kementrian kesehatan diundang untuk memberikan kuliah mengenai sistem Diagnosis Related Group, tetapi karena terjadi bencana letusan genung Merapi, maka kuliah ini terpaksa dibatalkan. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan niat saya untuk mencari tahu apa itu DRG. Maka dari itu, pada posting kali ini saya akan membagikan informasi yang saya miliki mengenai sistem pembiayaan DRG yang saat ini sedang berusaha untuk diterapkan seoptimal mungkin di Indonesia.

         Diagnosis Related Groups (DRG) adalah salah satu jenis sistem pembayaran rumahsakit yang menggunakan metode casemix. Case mix artinya sistem klasifikasi yang mengkategorisasikan pasien dalam group-group yang menggunakan sumber-sumber yang sama. Casemix diklasifikasikan berdasarkan kondisi pasien, menjadi :
  1. clinical homogeneity (Pasien yang mempunyai kondisi klinis yang sama)
  2. resource homogeneity (pasien yang menggunakan intensitas sumber-sumber yang sama untuk pengobatan/terapi)
         Lalu, mengapa perlu sistem pembayaran DRG? Karena dengan sistem pembayaran ini RS dituntut lebih efisien dalam pelayanan medis kepada pasien, standar mutu pelayanan akan lebih mudah diimplementasikan karena dikaitkan dengan sistem pembayaran, dan administrasi akan lebih mudah.
         
        Diagnosis Related Groups (DRGs) mencakup pasien rawat inap yang kondisinya akut (bukan rawat jangka panjang seperti penyakit jiwa, hemodialisis dll). Saat ini DRG sedang dikembangkan di Amerika dan di Asia baru Singapore yang mengimplementasikan. DRG di Singapore diadopsi dari Australian National Diagnosis Related Groups ( AN-DRG) Ver 3.1 menggunakan ICD-9CM diagnosis and procedure codes.

         Secara mudahnya, dalam DRG, pembayaran dijatah per diagnosis (yang dipakai diagnosis akhir). Misal diagnosis akhirnya adalah appendicitis. Dalam DRG appendicitis dijatah 7 jt. Jadi segala upaya untuk menangani appendicitis tidak boleh menghabiskan dana lebih dari 7 juta. Jika lebih, maka ditanggung oleh RS / dokter yang bersangkutan.

Syarat-syarat pelaksanaan dan penetapan DRG yaitu :
  • Disetujui oleh tim medis/komite medik
  • Didukung sistem insentif dan disinsentif yang jelas, misal: Bila biaya riil yang dihasilkan lebih besar dari tarif “DRG”, maka dibebankan kepada dokter, tetapi bila lebih kecil, dokter berhak mendapat keuntungan
  • Jumlah “DRG” sesuai dengan risiko yang ditanggung : diambil 3 – 4 diagnosis paling sering.
Secara garis besar DRG digambarkan dalam bagan sebagai berikut :

             Di Indonesia, sistem DRG kurang dapat berjalan karena uang yg beredar di sistem asuransi sedikit (minimal 5% PBB) sehingga DRG bernilai rendah dan juga karena coverage asuransi rendah. So, kapan DRG bisa diterapkan di Indonesia dengan baik?

Penyebaran Tenaga Medis di Indonesia

           Apakah penyebaran tenaga medis di Indonesia sudah merata? Hal ini yang mungkin bisa kita pertanyakan. Beberapa hari ini kita ,mengetahui di berbagai sumber bahwa Kementerian Kesehatan tengah menggodok rancangan peraturan pemerintah yang dapat mewajibkan tenaga strategis kesehatan untuk ditempatkan di daerah terpencil. Hal ini disebabkan, kesenjangan distribusi tenaga kesehatan antara daerah perkotaan dangan daerah terpencil masih menjadi problem serius di tiap provinsi. Dengan adanya peraturan yang ada setidaknya bisa mewajibkan para dokter untuk bekerja di satu tempat.
 
            Menurut sumber dari  Badan Pengembangan Pembangunan SDM Kesehatan,  saat ini terdapat sekitar 20 persen dari sekitar 8.800 unit Puskesmas yang tidak memiliki dokter. Meskipun kebutuhan dokter di 131 Puskesmas di daerah perbatasan terpencil kepulauan (DPTK) sudah terpenuhi 100 persen, namun prioritas pemerintah saat ini adalah pada DPTK. Adanya kekosongan dokter maupun bidan, di sejumlah Puskesmas tersebut karena keengganan mereka untuk ditempatkan sebagai pegawai tidak tetap (PTT) di daerah yang jauh dari tempat asalnya, hal ini bisa dokternya yang tidak bersedia dan memang tidak ada peraturan yang memaksa hal ini. Jika kita bandinkan waktu dulu terdapat adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 1975 yang mewajibkan semua tamatan dokter, bidan, dan perawat bersedia ditempatkan dimana saja, dan jika tidak mau maka akan mendapatkan sanksi, berbeda realita dengan sekarang ini. Sekarang aturan tersebut sudah tidak berlaku. Sehingga dokter, bidan, dan perawat boleh bekerja dimana pun di seluruh Indonesia. Sehingga para dokter tidak harus bekerja di daerah terpencil. Akibatnya, kesenjangan distribusi tenaga kesehatan antara perkotaan dan daerah terpencil kian tinggi.
 
             Dalam Hal ini sebenarnya kunci memang terdapat dalam sistem yang berbeda dengan yang dahulu, dan berbeda dengan sekarang yang dokter lebih memilih untuk menjadi tenaga medis di daerah yang lebih atau perkotaan, dengan alasan yang bervariasi, bahkan saya sendiri sebagai tenaga medis memang merasa seperti ini. Memang kita harus dapat menanamkan sebuah pemikiran dimana ada sebuah kebutuhan yang dapat kita penuhi dalam hal ini. Dan kita dapat berpikir untuk ke depan.

Sumber :

Global HIV/AIDS

           Beberapa tahun ini kita selalu dikejutkan dengan semakin meningkatnya tingkat HIV/AIDS. Sebenernya jika kita tahu HIV/AIDS terkadang tidak menyebabkan kematian secara langsung hanya dalm prosesnya mereka akan membuka peluang untuk berbagai infeksi penyerta seperti TBC, pneumoni, influenza, dll. Badan statistik Afrika Selatan melaporkan, TB menyebabkan 7.500 kematian pada pengidap HIV atau hampir 50 persen selama tahun 2008. Peringkat berikutnya ditempati pneumonia dan influenza, yang menyebabkan 45.600 kematian pada tahun yang sama. Memang tingkat HIV di dunia memang cukup besar, terutama di afirika memang sangat tinggi. Berdasar data yang ada outbreak HIV/AIDS di Afrika Selatan diyakini telah mencapai puncak pada tahun 2006, kenaikan angka kematian pengidap HIV/AIDS kembali menunjukkan peningkatan pada tahun 2008. Peningkatannya tersebut cukup signifikan, dari 13.561 pada tahun 2007 menjadi 15.097 pada 2008. Angka ini cukup tinggi dibandingkan angka kematian secara umum. Statistik mencatat angka kematian di negara ini mencapai 592.073 selama tahun 2008, sebagian besar karena sebab-sebab alami dan hanya 52.950 yang tidak alami misalnya karena sakit dan kecelakaan. Ini memang hal yang sudah ada sejak 1997 dimana kematian karena TB sangat banyak disbanding karena penyebab lain.

              Walau dalam beberapa tahun ini kematian pengidap HIV/AIDS cukup tinggi,Penyakit ini belum ada data yang menyebutkan bahawa karena murni HIV, dan biasanya data yang ada di beberapa Negara bahwa selalu diikuti adanya infeksi penyerta. Namun infeksi HIV bisa menyebabkan tubuh kehilangan sistem imunitas, sehingga membuka peluang masuknya berbagai infeksi penyerta termasuk TB dalam hal ini. Tanpa ada sistem kekebalan tubuh, infeksi sekecil apapun akan mudah menyebabkan kematian. Dalam prosesnya biasanya gejala awal muncul terkadang mirip dengan flu atau infeksi virus sedang. Sign and symptom awal dari HIV termasuk demam, sakit kepala, terasa lelah, mual, diare dan pembengkakan kelenjar getah bening di leher, ketiak atau pangkal paha, dan beberapa gejala dan tanda lain.

            Center for Disease Control (CDC)
menyebutkan ada beberapa gejala yang menunjukkan stadium lanjut dari HIV yaitu:
  1. Kehilangan berat badan dengan cepat tanpa adanya alasan
  2. Batuk kering
  3. Demam berulang atau berkeringat saat malam hari
  4. Kelelahan
  5. Diare yang lebih dari seminggu
  6. Kehilangan memori
  7. Depresi dan juga gangguan saraf lainnya.

            HIV didapat karena seringnya melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu dan gonta ganti pasangan  pasangan seks tanpa menggunakan kondom atau safety, dan juga terjadi penularan biasanya pada orang-orang yang memakai narkoba sebab sering bergantian menggunakan jarum suntik. Sebenarnya, HIV  dapat menular menular melalui:
  1. Hubungan kelamin dan hubungan seks oral atau melalui anus
  2. Darah (Tarnfusi)
  3. Penggunaan bersama jarum terkontaminasi melalui injeksi obat dan dalam perawatan kesehatan
  4. Dari ibunya ke bayinya selama hamil, kelahiran dan saat menyusui.





            Dalam hal ini memang dapat menjadikan perhatian tentang pengendalian HIV/AIDS di dunia, di Indonesia pun tingkat HIV sangat tinggi juga daoat kita lihat kawasan yang ada Asia.


Sumber : WHO and HIV/AIDS, CDC HIV/AIDS

Sistem Kesehatan di Indonesia

            Jika kita melihat sejenak tentang apa itu kesehatan pastilah ada sebuah sistem yang akan mengatur sistem itu. Sistem kesehatan menurut WHO adalah sebuah proses kumpulan berbagai faktor kompleks yang berhubungan dalam suatu negara, yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat pada setiap saat diutuhkan. dalam sebuah sistem harus terdapat unsur-unsur Input, proses, output, feedback, impact dan lingkungan.
 
           Sistem kesehatan yang telah di sahkan sesuai SK Menkes bahwa tujuan yang pasti adalah meningkatkan derajat yang optimal dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan yang sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Aspek yang mempengaruhi pencapaian dan kinerja sistem kesehatan nasional di Indonesia secara singkat dapat kita jelaskan singkat :
  1. Upaya Kesehatan : Upaya kesehatan di Indonesia belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih dirasakan kurang. Memang jika kita pikirkan bahwa masalah Indonesia tidak hanya masalah Kesehatan bahkan lebeih dari sekedar yang kita bayangkan, tapi jika tahu bahwa dalam hal ini kita masih dalam proses dimana bagai sebuah ayunan yang mana pasti akan menemukan titik temu dan kita dapat menunggu, tapi kapankah hal ini...kita tunggu yang lebih baik.
  2. Pembiayaan Kesehatan : Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya rata-rata 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau rata-rata antara USD 12-18 per kapita per tahun. Persentase ini masih jauh dari anjuran Organisasi Kesehatan Sedunia yakni paling sedikit 5% dari PDB per tahun. Sementara itu anggaran pembangunan berbagai sektor lain belum sepenuhnya mendukung pembangunan kesehatan
  3. SDM Kesehatan : Sumber Daya Manusia Kesehatan dalam pemerataannya masih belum merata, bahkan ada beberapa puskesmas yang belum ada dokter, terutama di daerah terpencil. Bisa kita lihat,rasio tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk masih rendah. Produksi dokter setiap tahun sekitar 2.500 dokter baru, sedangkan rasio dokter terhadap jumlah penduduk 1:5000. Produksi perawat setiap tahun sekitar 40.000 perawat baru, dengan rasio terhadap jumlah penduduk 1:2.850. Sedangkan produksi bidan setiap tahun sekitar 600 bidan baru, dengan rasio terhadap jumlah penduduk 1:2.600. Namun daya serap tenaga kesehatan oleh jaringan pelayanan kesehatan masih terbatas.Hal ini bisa menjadi refleksi bagi Pemerintah dan tenaga medis, agar terciptanya pemerataan tenaga medis yang memadai.
  4. Sumberdaya Obat dan Perbekalan Kesehatan : Industri farmasi di Indonesi saat ini cukup berkembang seiring waktu. Hanya dalam hal ini pengawasan dalam produk dan obat yang ada. Perlunya ada tindakan yang tegas, ketat dalam hal ini.
  5. Pemberdayaan Masyarakat : Keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini agar tercapainya Indonesia Sehat 2010 juga dibutuhkan. Sayangnya pemberdayaan masyarakat dalam arti mengembangkan kesempatan yang lebih luas bagi
    masyarakat dalam mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan tentang kesehatan masih
    dilaksanakan secara terbatas. Kecuali itu lingkup pemberdayaan masyarakat masih dalam bentuk mobilisasi masyarakat. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelayanan, advokasi kesehatan serta pengawasan sosial dalam program pembangunan kesehatan belum banyak dilaksanakan.
  6. Manajemen Kesehatan : Manajemen kesehatan sangatlah berpengaruh juga, karena dalam hal ini yang memanage proses, tetapi keberhasilan manajemen kesehatan sangat ditentukan antara lain oleh tersedianya data dan informasi kesehatan, dukungan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, dukungan hukum kesehatan serta administrasi kesehatan. Jika tidak tersedianya hal ini maka bisa jadi proses manajemen akan terhamnbat atau bahkan tidak berjalan.
             Sebenranya, jika kita menengok sebentar bagaimana proses pemerintah bekerja, selalu berusaha dan berupaya yang terbaik, baik juga tenaga medis. Hanya saja dalam prosesnya terdapat sebuah kendala baik dalam SDM pribadi ataupun sebuah pemerintahan itu. Bisa jadikan renungan bagaimana kita bisa membuat sebuah sistem yang lebih baik dengan input-proses-dan output yang bisa menghasilkan sebuah kebanggaan dan sebuah tujuan bersama.

"Fee for Service" atau "Kapitasi" ?

             Sistem pembayaran gaji dokter saat ini masih belum terstandardisasi dan masih bervariasi cara-caranya di Indonesia. Namun bagaimanakah sistem pembayaran dokter di Indonesia yang ideal??

             Pertama kita lihat dahulu apa sistem yang sudah dilakukan.Berikut adalah beberapa sistem yang ada diterapkan di Indonesia:
1. Fee for Service (Out of pocket)
Sistem pembayaran ini adalah setiap dokter mendapatkan gajinya berdasarkan pelayanan yang dia berikan kepada pasiennya. Misalnya saja ada pasien datang, maka dokter akan mendapatkan jasa pelayanan. Kalau kemudian dokter melakukan penyuntikan maka dokter akan mendapatkan jasa dari penyuntikan tersebut. Kalau dokter meresepkan obat pada pasien maka dokter akan mendapatkan uang dari hasil pemberian resep dokter tersebut. Kalau dokter melakukan operasi maka dia akan mendapatkan jasa dari operasi yang telah dilakukannya. Kalau dokter visite, maka juga akan mendapatkan penghasilan tambahan dari jumlah visitenya.
2. Sistem pembayaran kapitasi
Sistem pembayaran ini adalah sistem pembayaran yang prospektif dimana dokter memegang sejumlah besar penduduk akan mendapatkan bayaran dari penduduk yang dipegangnya dalam jangka waktu tertentu (biasanya dibayar per bulan) walaupun penduduk tersebut sakit maupun tidak sakit. Misalnya dokter A memegang sebanyak 1000 orang dalam suatu rentang wilayah dan tiap orang tiap bulannya membayar premi kepada dokter sejumlah Rp. 10.000,–. Maka tiap bulan dokter tersebut akan mendapatkan uang sebesar  Rp. 10.000.000. Seribu orang yang dipegangnya bebas datang ke praktik dokter untuk apakah konsultasi atau pengobatan tanpa melihat jumlah dia datang. Istilahnya setiap pengobatan pasien ditangung dokter dengan menggunakan uang premi tadi. Nah sisa tiap bulan yang tidak digunakan oleh dokter akan menjadi gaji dokter. Tentu saja kasus-kasus yang akan ditangani tidak semuanya dan ada kontrak tersendiri. Sistem pembayaran ini adalah sistem pembayaran yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia sekarang dan dipakai dalam sistem asuransi.

            Dua sistem diatas merupakan sistem pembayaran jika dokter tersebut membuka praktik pribadi. Lalu bagimana jika dokter tersebut bekerja di rumah sakit??Bagaiamanakah sistem pemasukan yang akan diterima rumah sakit??Sebenarnya intinya adalah sama saja. Ada 2 juga yaitu ada sistem Fee for Service/Out of Pocket dimana rumah sakit mendapatkan pemasukan dari pelayanan yang dia berikan.  Yang agak sedikit berbeda adalah sistem Diagnosis Related Group (DRG). Pada sistem ini pembayaran dilakukan dengan melihat penyakit pasien. Sudah ditentukan sebelumnya jika seorang pasien didiagnosis penyakit A misalnya maka akan di plot (misalnya) dengan harga 5 Juta. Itu sudah include semua biaya mondoknya, makan, obat-obatan , dsb. Jika jumlah itu kurang maka dana lebihnya akan ditanggung dan dibayar rumah sakit sendiri dan misalnya jika jumlah itu berlebihan maka sisanya akan masuk sebagai pendapatan rumah sakit.
Lalu bagaimana implementasinya dalam praktik kedokteran sehari-hari di Indonesia??
  1. Pada sistem fee for service/Out of pocket, merupakan cara yang paling banyak diterapkan di Indonesia saat ini. Kalau dibilang kenapa sangat banyak diterapkan karena memang dengan cara ini dokter akan mampu mendapatkan gaji yang tidak pernah terbatas. Jika dokter tersebut memliki jumlah pasien banyak dan semakin menambah pelayanan yang dia sediakan maka dia akan semakin mendapatkan banyak pemasukan. Lalu bagaiamana dampaknya?Dampaknya adalah dokter akan berusaha memperbanyak pelayanan yang dia berikan walaupun pelayanan tersebut sebenarnya tidak perlu diterima pasien tersebut.
  2. Pada sistem kapitasi; sistem ini sangat baik namun banyak ditentang di Indonesia bahkan oleh profesi dokter sendiri!!Mengapa??karena dengan sistem ini, dokter tak dapat mencari pendapatan yang sebanyak-banyaknya. Sebenarnya secara manusiawi, pendapatan dokter dengan cara ini sudah sangat amat cukup, namun yang namanya manusia pasti ingin pendapatan lebih banyak lagi dan tidak akan pernah puas. Lalu jika melakukan sistem ini apa kemungkinan pelencengan yang terjadi??Yaitu dokter memberikan sesedikit mungkin pelayanan kesehatan dan akan terjadi underservice yaitu dokter akan mengurangi jumlah pelayanannya agar mendapatkan pendapatan yang sebesar-besarnya. Selain itu karena sistem dan biaya kesehatan Indonesia yang kecil sehingga coverage per orang yang diberikan pemerintah sangat kecil dampaknya adalah pendapatan dokter yang sangat kecil dan sistem ini menjadi kurang terkenal dan kurang diminati di kalangan dokter Indonesia. Dari hasil penelitian bahwa jika dokter ingin mendapatkan penghasilan yang layak dengan sistem kapitasi maka ia minimal harus mengcover minimal 600 orang. Masalah pembagian jumlah orang yang akan dicover belum tertata dengan baik dan masih kebanyak dibawah 400 orang sehingga tidak menarit minat dokter untuk memakain sistem ini.
          Lalu sebenarnya bagaimana sih cara pembayaran dokter yang ideal dan berapa gaji dokter yang ideal??Bagaimanakah pembayaran yang pantas bagi dokter??

          Sebenarnya sistem kapitasi merupakan sistem yang paling ideal mengenai sistem pembayaran dokter secara umum. Mengapa?
1. Karena dokter dalam hal ini akan dianggap sama seperti profesinya yang lainnya yaitu dokter memiliki pendapatan yang tetap per bulan.
2. Dokter akan berusaha melakukan kegiatan promotif preventif daripada kuratif.
3.Dari segi martabat sendiri, dokter dengan sistem ini tidak sama seperti pedagang atau yang lainnya yang jika pelanggannya sedikit maka penghasilannya sedikit dan jika pelanggannya banyak, maka pendapatannya juga banyak. Dengan sistem kapitasi, berapapun pasien yang datang makan dokter sudah mendapatkan income yang tetap.
4. Dari sisi dokter sendiri bahwa dengan sistem kapitasi akan sangat banyak waktu bagi dokter untuk beristirahat dan melakukan kegiatan lainnya diluar praktik karena dokter tidak akan terpengaruh jumlah pasien  sehingga tidak akan takut-takut kehilangan pasien, dokter memiliki waktu refreshing, beban kerja sedikit, banyak waktu dengan keluarga dan berdampak pada kualitas dokter sebagai dokter akan terjaga.

          Kalau kita menilik Singapura sendiri, disana mereka menjamin dokter-dokter untuk dapat membiayai 1 istri, membiayai 2 anak, mendapatkan apartemen dengan fasilitas 3 kamar, mendapat 1 kendaraan beroda 4 dan berlibur 1 bulan sekali bersama keluarga.  Hal yang wajar diterima bagi seorang dokter. Tapi masalahnya di Indonesia adalah
1. Masyarakat masih memiliki budaya untuk  fee for service dan masih belum tersosialisasi tentang sistem kapitasi ini sehingga susah untuk menjaring masyarakat mau ikut.
2.Aturan praktik di Indonesia belum memiliki aturan yang jelas sehingga coverage area yang akan dibebankan kepada seorang dokter sulit untuk ditentukan dan akan sangat mungkin sekali bertabrakan.
3. Jika ditilik secara detail lagi bahwa sistem kapitasi ini sendiri memiliki syarat-syarat tertentu dan salah satunya adalah akses ke pelayanan kesehatan yang baik. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga akan ada masyarakat yang terpencar dalam pulau-pulau dan jika dicover oleh satu dokter dan mengikuti aturan minimal 600 orang maka akan sangat susah masyarakat yang tinggal pada pulau berbeda mendapatkan akses pelayanan kesehatan sehingga mau tidak mau jika daerah yang ingin dicover adalah kepulauan maka sistem yang digunakan adalah sistem fee for service.

Apa kesimpulannya??
  1. Sistem yang ideal bagi Indonesia mengenai pembayaran dokter adalah disesuaikan dengan kondisi geografis dan akses pelayanan kesehatan sendiri. Kalau misalnya daerah jawa yang sudah sangat mudah dan merata mendapatkan akses kesehatan maka akan sangat memungkinkan dilakukan sistem kapitasi. Namun jika kita melihat kondisi geografis dan akses yang sulit maka mau tidak mau harus dilakukan sistem fee for service.
  2. Pemerintah dalam hal ini perlu mensosialkisasikan sistem kapitasi ini sehingga masyarakat mengerti dan mau menerapkan sistem ini. Karena sistem ini adalah sistem prospektif dan sebagian penduduk Indonesia masih tabu dalam hal pembayaran di muka maka sosialisasi pemerintah akan sangat diperlukan.
  3. Sistem kapitasi akan sangat mudah diterapkan jika ketersediaan tenaga kerja kesehatan sendiri sudah merata dan akan lebih mudah lagi apabila akses ke segala penjuru Indonesia menjadi mudah. Konsekuensinya adalah pemerintah harus berusaha keras dalam melakukan pembangunan tiap-tiap daerah bukan hanya dari kesehatan saja tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya.
  4. Baik sistem fee for service maupun sistem kapitasi membutuhkan regulasi dan sistem kontrol ketat untuk dapat menjaga dan menjamin mutu karena kemungkinan fee for service adalah overservice dan kemungkinan buruk kapitasi adalah underservice/low quality
  5. Pemerintah sendiri perlu mengusahakan agar biaya coverage pada tiap orang itu besar dan pembagian dalam area coverage dokter besar dan jelas sehingga dapat menarik minat dokter untuk menerapkan sistem ini.
  6. Bagi para dokter sendiri diharapkan agar dapat menjaga kualitas pelayanan dan tidak hanya berorientasi pada uang. Diharapkan juga agar membantu pemerintah dalam hal sosialisasi sistem kapitasi ini.
  7. Networking antar dokter-asuransi-rumah sakit harus dapat tertata dengan baik demi sistem referral yang baik karena sistem kapitasi ini pada nantinya akan sangat erat kaitannya dengan sistem perujukan.
Semoga sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih baik lagi!!

Asuransi Kesehatan: Apakah Lebih Baik?

             “Sehat itu mahal” barangkali ungkapan tersebut yang paling sesuai menggambarkan kondisi sistem kesehatan di Indonesia. Sistem Pay for service, bayar dulu baru dilayani dan berbagai birokrasi administratif lainnya masih mengakar di sistem yang sangat vital ini. Hal ini sangat tidak kompatibel dengan pelayanan medis, karena saat sakit terlebih dalam kondisi emergensi, idealnya tidak mungkin menunggu uang dulu baru mendapatkan tindakan medis. Namun perlu digaris bawahi, badan-badan penyedia kesehatan seperti rumah sakit, apotek, dll merupakan lembaga profit yang menjual layanan kesehatan, bukan bukan lembaga sosial yang berorientasi untuk beramal. Ironis memang, tapi itulah hukumnya, agar dapat terus survive, komersialisasi layanan kesehatan merupakan sesuatu hal yang tak dapat dipungkiri.
             Merespon kondisi tersebut, sistem asuransi merupakan salah satu jalan keluarnya. Pemerintah mengadakan berbagai bentuk asuransi; askes, jamsostek, askeskin sampai JamKesMas. Namun sayangnya, seperti yang dilaporkan World Bank, program-program asuransi yang dijalankan pemerintah masih terkesan setengah-setengah, hanya sepertiga penduduk yang dilindungi asuransi kesehatan formal, itupun mereka masih harus mengeluarkan sejumlah dana pribadi yang cukup tinggi. Imbasnya, kaum miskin masih kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dibiayai pemerintah. sebanyak 20 persen penduduk termiskin dari total penduduk menerima kurang dari 10 persen total subsidi kesehatan pemerintah sementara 20 persen penduduk terkaya menikmati lebih dari 40 persen.
             Dari riset yag dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan judul Citizen Report Card (CRC) yang berfokus pada Jaminan Kesehatan Masyarakat, setidaknya ada 6  permasalahan yang perlu menjadi perhatian kita semua. Pertama, belum akuratnya data peseta JamKesMas. Dari 868 responden terdaftar yang dipilih secara acak dijumpai 12,4 persen tidak memiliki kartu. Ada pula 3 % meninggal dunia, pindah alamat 3,1 %, nama tidak dikenal 9,9 persen serta 22,1% responden tidak dapat diverifikasi. Seharusnya quota bagi peserta yang meninggal dunia dapat dialihkan ke masyarakat miskin lain yang membutuhkan. Kedua, Sosialisasi yang belum optimal. 25,8 persen dari responden tidak mengetahui apa itu jamkemas. Hal ini menunjukkan kampanye besar-besaran oleh Menteri Kesehatan melalui media elektronik dan cetak (TV dan Koran) belum efektif. Ketiga, masih adanya pungutan dalam mendapatkan kartu. Untuk mendapatkan kartu, peserta masih dipungut biaya (7,5%). Rata-rata pungutan sebesar Rp 10.000. Aktor penarik pungutan ini 44,6% adalah ketua RT/RW dengan dalih pengganti biaya transportasi dan sumbangan sukarela. Keempat, masih dijumpai peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat. Dari hasil riset ini diketahui bahwa 23 persen responden tidak menggunakan kartu ketika berobat. Adapun alasan mengapa tidak menggunakan kartu ialah tidak tahu jika dengan kartu itu, pengobatan di RS dan puskesmas gratis, takut ditolak RS/puskesmas, administrasi akan dipersulit, mendapatkan pelayanan yang buruk. Kelima, masih ada pasien jamkesmas yang mengeluarkan biaya. Keenam, kualitas pelayanan pasien jamkesmas masih buruk. Adanya antrian panjang pendaftaran, sempitnya ruang tunggu, rumitnya administrasi dan lamanya menunggu dokter menjadi hambatan pelayanan jamkesmas.
                Program-program pembiayaan kesehatan yang dijalankan pemerintah selama ini sudah lumayan baik, namun masih dibutuhkan totalitas dalam teknis pelaksanaannya. Selain itu, dalam system asuransi ini, ada baiknya pemerintah juga melibatkan pihak asuransi swasta, karena disebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan. Semoga ini menjadi introspeksi untuk ita semua agar pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan harga terjangkau dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Identifikasi Jenazah Korban Bencana

             Bencana alam tak henti-hentinya menerjang negeri ini, banjir Wasior, Tsunami Mentawai dan Merapi Jogja silih berganti mengisi pemberitaan di berbagai media. Tak heran, rawannya Indonesia untuk terjadi bencana disebabkan posisi Indonesia secara geologi yang terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yakni: lempeng ausralia di selatan, lempeng euro-asia di barat dan lempeng samudra pasifik di timur yang memfasilitasi untuk terjadinya bencana.

            Setiap bencana alam yang terjadi tak hanya menimbulkan kerugian harta benda dan infrastruktur, namun juga merenggut korban jiwa yang tidak sedikit. Saat evakuasi, banyak orang yang terpisah dan kehilangan anggota keluarganya. Korban-korban bencana yang ditemukan meninggal saat pencarian seringkali sulit dikenali. 

            Proses identifikasi korban bencana memerlukan data ante mortem dan data post mortem. Data ante mortem adalah data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau pada waktu korban masih hidup, termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik jari, dan data kepemilikan yang dipakai atau dibawa. Adapun data post mortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban.
 
            Dalam ilmu kedokteran forensik, ada beberapa teknik untuk membantu mengidentifikasi korban bencana, antara lain:
  1. Karakteristik morfologi, yaitu dengan memperhatikan cirri-ciri umum korban, dan menyocokkannya dengan informasi tentang korban, misal dengan mengukur tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna kulit, ras dan pakaian maupun perhiasan yang digunakan korban.
  2. Sidik jari, didapat dari bagian kulit yang mengalami deskuamasi
  3. Odontologi forensik, yaitu identifikasi identitas korban dari profil gigi. Odontologi forensik, sangat penting pada bencana besar, karena gigi merupakan jaringan terkeras dan paling tahan terhadap proses dekomposisi dan pembakaran, sehingga identifikasi dapat dilakukan.
  4. Identifikasi dari jaringan asal atau sampel, misal, untuk mengidentifikasi saliva, semen, darah yang terdapat disekitar korban berasal dari korban atau pelaku kejahatan.
  5. Individualitas sel, dengan mencocokkan tes terhadap sel tertentu dari korban, misal, sistem ABO pada darah.
  6. Identifikasi dari profil DNA, tes DNA yang mana sampelnya bisa didapat dari sel darah putih, rambut , spermatozoa, dll.
  7. Tato dan anting, maraknya trend tato dan anting yang mengandung makna tertentu dapat membantu proses identifikasi korban.
  8. Identitas dari sisa skeleton, mengidentifikasi korban berdasarkan sisa tulang yang tertinggal, misal, penentuan jenis kelamin korban dari pelvis yang tertinggal, penentuan umur korban dari femur.
  9. Rekonstruksi wajah, rekonstruksi terkomputerisasi, dimana foto skeleton akan “ditempelkan” jaringan secara elektronik.
              Proses identifikasi korban merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari manajemen bencana. Keluarga korban memerlukan informasi mengenai kematian korban dan juga untuk dikuburkan serta pelaksanaan ritual-ritual yang berlaku dimasyarakat. Oleh karena itu, seharusnya di setiap wilayah di Indonesia, memiliki tim identifikasi korban bencana (Disaster Victims Identification/DVI). Keberadaan tim DVI di setiap wilayah berisiko bencana sangat penting untuk mengatasi kendala waktu dan transportasi saat terjadi bencana alam (natural disaster) maupun bencana yang disebabkan manusia (man made disaster). Identifikasi korban bencana diperlukan untuk menegakkan HAM, membantu proses penyidikan dan memenuhi aspek legal sipil.